Di tengah kemajuan teknologi dan derasnya informasi, ada satu hal yang kerap terlupakan dalam komunikasi manusia: kemampuan untuk mendengarkan. Banyak orang sibuk ingin menanggapi, menyela, memperbaiki, bahkan menasihati, tanpa memberi ruang bagi lawan bicara untuk benar-benar didengar. Padahal, dalam banyak situasi, yang dibutuhkan bukan solusi, melainkan empati. Bukan dibenarkan, tapi dimengerti.
Ungkapan “Kadang yang kita butuh cuma didengerin, bukan dibenarin” mungkin terdengar sederhana. Namun di baliknya, tersimpan refleksi mendalam tentang bagaimana manusia modern kerap merasa kesepian meskipun dikelilingi oleh banyak orang bahkan di era media sosial yang saling terhubung 24 jam sekalipun.
Di Era Serba Responsif, Mendengarkan Jadi Langka
Mendengarkan bukan sekadar menunggu giliran bicara. Ini adalah keterampilan aktif yang melibatkan perhatian, empati, dan niat untuk memahami tanpa menghakimi. Namun di era digital ini, di mana kecepatan respons sering lebih dihargai daripada kedalaman komunikasi, kemampuan untuk mendengarkan perlahan-lahan terpinggirkan.
“Banyak orang terbiasa langsung membalas tanpa menyerap apa yang sebenarnya sedang kita rasakan,” kata Dinda (29), seorang karyawan swasta di Jakarta. “Begitu kita cerita soal lelah kerja, langsung disuruh ‘ikut seminar motivasi’ atau ‘coba bangun lebih pagi’. Padahal kadang kita cuma pengen cerita dan dimengerti.”
Apa yang disampaikan Dinda adalah hal yang umum dirasakan banyak orang: kita sering menerima “respon otomatis” nasihat, motivasi, atau bahkan ceramah yang justru terasa jauh dari kebutuhan emosional saat itu.
Budaya Menyela dan Kebutuhan untuk Dibenar-Benarkan
Mengapa begitu banyak orang lebih cepat membenarkan daripada mendengarkan? Jawabannya bisa jadi karena pola komunikasi kita yang dibentuk sejak kecil. Dalam banyak lingkungan rumah, sekolah, hingga tempat kerja kita diajarkan untuk memberi tanggapan, solusi, bahkan koreksi. Mendengarkan sering kali dianggap pasif, padahal justru sebaliknya.
Psikolog klinis, Dr. Indra Syarif, menyebutkan bahwa budaya kita banyak mendorong untuk “menolong” atau “memperbaiki” tanpa membaca konteks emosionalnya.
“Orang merasa harus selalu punya jawaban. Padahal, tidak semua perasaan butuh solusi. Beberapa hanya perlu divalidasi,” jelasnya.
Sering kali, ketika seseorang bercerita soal kesedihan, mereka langsung dibalas dengan, “Jangan sedih dong,” atau “Harusnya kamu bersyukur.” Meski niatnya baik, ucapan semacam ini justru bisa membuat si pencerita merasa tidak dipahami. Yang awalnya ingin berbagi, malah merasa diabaikan atau dihakimi.
Mendengar untuk Mengerti, Bukan untuk Merespons
Dalam komunikasi yang sehat, listening to understand jauh lebih penting daripada listening to respond. Mendengarkan untuk memahami berarti hadir sepenuhnya dalam percakapan, menanggalkan ego, dan mengedepankan empati.
Tidak perlu langsung memberi solusi. Terkadang kalimat seperti:
- “Aku ngerti kok perasaan kamu.”
- “Itu pasti berat ya.”
- “Aku dengerin kamu, lanjut aja.”
…jauh lebih menyembuhkan dibanding segunung nasihat yang tak diminta.
Apalagi dalam hubungan dekat seperti antara pasangan, sahabat, atau keluarga sering kali orang tidak butuh petuah. Mereka hanya ingin tahu bahwa ada seseorang yang bersedia menjadi tempat sandaran, walau hanya dengan telinga.
Efek Positif dari Didengar
Penelitian menunjukkan bahwa ketika seseorang merasa didengarkan dengan tulus, hormon stres seperti kortisol akan menurun, sementara rasa aman dan nyaman meningkat. Tidak hanya secara emosional, tetapi juga secara fisik, efek “didengarkan” itu bisa menyehatkan.
Rani (33), ibu dua anak, mengaku baru merasa benar-benar “dihargai” oleh suaminya setelah mereka mengikuti terapi pasangan. “Sebelumnya dia selalu nyuruh aku tenang, atau bilang ‘kamu terlalu lebay’. Tapi setelah belajar mendengarkan tanpa menyela, dia baru sadar ternyata aku selama ini cuma pengen dimengerti,” ungkapnya.
Dunia Digital dan Ruang Curhat yang Kacau
Menariknya, di media sosial saat ini, banyak orang berbagi keresahan atau keluh kesah. Namun, bukan jawaban empati yang mereka terima, melainkan serbuan komentar seperti:
- “Kamu kurang bersyukur.”
- “Masih mending kamu, saya lebih parah.”
- “Itu mah salah kamu sendiri.”
Ruang yang awalnya diniatkan untuk berbagi justru berubah jadi ruang adu argumen, adu pengalaman, atau bahkan hujatan. Padahal, bagi banyak orang, sekadar bisa bicara atau menulis perasaan sudah merupakan bentuk terapi.
Membangun Budaya Mendengar
Kita mungkin tidak bisa mengubah orang lain. Tapi kita bisa mulai dari diri sendiri: dengan belajar mendengarkan tanpa menghakimi, tanpa langsung memberi solusi, dan tanpa merasa harus jadi “paling benar”.
Empati bukan soal setuju atau sepaham, tapi soal hadir dan memberi ruang. Ketika seseorang memilih membuka perasaannya ke kita, itu adalah bentuk kepercayaan. Dan satu-satunya hal yang dibutuhkan kadang bukan koreksi tapi kehadiran yang utuh.
Penutup
Dalam dunia yang makin bising oleh pendapat dan saran, barangkali yang paling langka dan paling dibutuhkan adalah telinga yang mau benar-benar mendengar. Karena tidak semua luka butuh obat, tidak semua cerita butuh solusi. Kadang, cukup ditemani. Cukup didengar.
cek berita lainnya di dailyinfo