Fenomena “hidup di dua alam” bukan lagi sekadar mitos atau fiksi ilmiah. Di era digital yang terus berkembang, istilah itu kini merujuk pada gaya hidup manusia modern yang secara bersamaan eksis di dunia nyata dan dunia maya. Di Indonesia, tren ini semakin nyata, terutama sejak pandemi yang memaksa banyak aktivitas berpindah ke ranah digital. Kini, pasca pandemi, fenomena tersebut bukan mereda, malah justru makin mengakar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Media sosial, platform e-commerce, game online, hingga dunia kerja hybrid telah menjadikan masyarakat seolah memiliki dua “kepribadian digital”: satu yang hidup secara fisik, dan satu lagi yang terhubung dengan internet 24 jam sehari. Fenomena ini bukan hanya menciptakan cara baru dalam berkomunikasi dan bersosialisasi, tapi juga mengubah cara manusia memandang dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya.
Dunia Fisik vs. Dunia Digital
“Bangun tidur yang dilihat pertama kali adalah notifikasi WA dan Instagram,” kata Rani (26), seorang content creator asal Bandung. “Kadang bahkan lebih tahu kabar dari followers dibanding keluarga sendiri.”
Pernyataan Rani menggambarkan realita banyak orang: dunia digital telah menjadi bagian tak terpisahkan dari eksistensi manusia. Seseorang bisa duduk diam di ruang tamu, tapi pikirannya sedang berselancar di X (dulu Twitter), berdiskusi di Discord, atau menyapa teman-teman di metaverse. Keberadaan di dunia digital tidak lagi sekadar hiburan ia menjadi bagian dari identitas sosial, ekonomi, bahkan spiritual.
Fenomena ini juga dipicu oleh masifnya perkembangan teknologi. Kecanggihan smartphone, koneksi internet cepat, serta kemunculan AI generatif seperti ChatGPT, Midjourney, hingga musicpromote platform yang membantu musisi menjangkau audiens global lewat teknologi semakin memperkuat kehadiran “dunia kedua” ini.
Hidup di Dua Alam dan Dampaknya
Kehidupan ganda ini bukan tanpa konsekuensi. Menurut psikolog digital Dr. Amelia Pratiwi, kondisi “hidup di dua alam” memengaruhi cara otak manusia menyerap informasi. “Ada peningkatan kasus burnout digital, gangguan tidur, dan krisis identitas karena individu merasa harus mempertahankan citra online mereka setiap saat,” ungkapnya.
Tak hanya itu, pergeseran nilai juga mulai terasa. Validasi sosial kini tidak lagi dicari di lingkungan sekitar, tetapi di ruang-ruang digital melalui likes, shares, dan comment. Fenomena ini disebut-sebut menyebabkan generasi muda lebih terobsesi pada persepsi orang terhadap diri mereka di internet, daripada kenyataan di dunia nyata.
Namun, dunia digital juga membuka peluang luar biasa. Seorang penjual gorengan bisa viral karena video lucunya di TikTok. Anak muda dari desa bisa jadi streamer sukses. Ibu rumah tangga bisa mendulang penghasilan dari jualan daring. Dunia maya menyediakan panggung bagi siapa pun yang ingin unjuk gigi.
Identitas Virtual: Siapa Kita Sebenarnya?
“Di Instagram, saya terlihat glamor. Padahal realitanya saya masih ngojek,” ujar Dika (32), seorang driver ojol di Jakarta. Dika mengaku sering memakai filter dan mengedit foto agar terlihat keren. “Rasanya jadi semacam pelarian. Tapi di sisi lain, itu juga jadi motivasi buat punya kehidupan seperti di feed saya.”
Identitas digital dan fisik bisa sangat berbeda. Sebagian orang merasa bebas menjadi diri mereka di internet lebih berani, lebih ekspresif, bahkan lebih jujur. Namun sebagian lainnya justru merasa harus menjadi versi sempurna yang terus-menerus mendapat validasi.
Munculnya avatar, persona virtual, hingga deepfake juga menambah kompleksitas ini. Ketika teknologi semakin canggih, pertanyaan tentang “siapa kita sebenarnya” pun menjadi semakin kabur.
Generasi Z dan Digitalisasi Emosi
Anak muda, terutama Gen Z, adalah kelompok yang paling terpengaruh. Mereka tumbuh dengan internet, memahami emoji seperti bahasa ibu, dan bisa mengekspresikan diri dalam bentuk meme, caption, hingga voice note 2x speed.
“Emosi kami kadang lebih terasa waktu chat ketimbang ngobrol langsung,” ujar Fani (19), mahasiswa asal Surabaya. “Kalau lagi sedih, teman bisa cepat tahu dari story atau status. Kadang gak perlu ngomong.”
Perubahan cara berekspresi ini menunjukkan bahwa dunia digital bukan hanya tempat informasi, tapi juga rumah bagi emosi manusia. Kehangatan, kemarahan, cinta, dan luka kini bisa terjadi di balik layar.
Tantangan Etika dan Keamanan
Namun, hidup di dua alam juga berarti harus menghadapi ancaman dari dua dunia. Penipuan digital, hoaks, pencurian identitas, hingga serangan siber menjadi risiko baru yang perlu diwaspadai.
Pemerintah Indonesia pun mulai menyesuaikan regulasi untuk melindungi warganya di ruang digital. “Kita sedang dorong literasi digital agar masyarakat bisa bijak, bukan sekadar aktif di internet,” ujar Johnny G. Plate, Menteri Komunikasi dan Informatika, dalam wawancara sebelumnya.
Tantangan etika pun ikut muncul: apakah sopan menyapa seseorang yang hanya kita kenal lewat DM? Apakah privasi masih ada ketika semua data dikumpulkan platform? Apakah bisa kita benar-benar “keluar” dari dunia digital?
Kesimpulan: Merangkul Dua Dunia
Hidup di dua alam bukanlah ancaman, melainkan fase baru dalam sejarah manusia. Dunia digital tidak menggantikan dunia nyata ia memperluasnya. Tantangannya bukan untuk memilih salah satu, tetapi untuk hidup seimbang di keduanya.
Dengan kesadaran, literasi, dan empati digital, kita bisa menjadikan “dua alam” ini sebagai ruang bertumbuh, bukan ruang lari. Sebab pada akhirnya, baik dunia nyata maupun maya adalah cermin dari siapa kita manusia yang terus berubah.
Temukan juga berita terkait dunia digital di wikiberita.