ngobrol.online Banjir bandang kembali menghadirkan luka bagi masyarakat Aceh Tamiang. Usai air surut, wilayah Karang Baru memperlihatkan pemandangan yang menegangkan: ribuan potongan kayu berserakan di berbagai titik permukiman. Bahkan, masjid dan pesantren yang berdiri kokoh sebelumnya kini tampak dikelilingi sisa batang pohon yang terseret arus deras.
Rekaman udara yang beredar menunjukkan bagaimana kayu-kayu tersebut menutupi jalan, halaman, hingga terperangkap di sela-sela bangunan. Pemandangan ini bukan hanya sisa bencana, tetapi sinyal kuat tentang apa yang sebenarnya terjadi di hulu sungai. Alam seolah berbicara lantang bahwa hutan yang seharusnya menjadi perisai sudah terlalu banyak hilang.
Kayu Dalam Jumlah Tak Wajar
Kayu yang terbawa banjir bukan sesuatu yang muncul begitu saja. Dari jumlahnya yang sangat banyak, terlihat jelas bahwa ada aktivitas besar di hulu—entah itu penebangan liar atau pembukaan lahan—yang membuat batang-batang itu lepas dari tempatnya dan hanyut jauh ke hilir. Di saat hujan ekstrem turun, tanah yang tak lagi ditopang perakaran pohon mulai longsor dan menyeret material kayu ke desa.
Warga yang menyaksikan langsung menyebut kondisi ini sebagai penampakan yang belum pernah mereka lihat sebelumnya. Mereka terbiasa menghadapi banjir musiman, namun tidak dengan ribuan potongan kayu yang menyerbu kampung seperti kiriman murka alam.
Deforestasi Meningkat, Risiko Bencana Mengiringi
Para ahli lingkungan telah lama mengingatkan bahwa hilangnya hutan memperbesar risiko banjir bandang. Hutan sesungguhnya adalah sistem pertahanan alami yang menahan air sekaligus memperkuat struktur tanah di daerah perbukitan. Saat hutan ditebang, air hujan tak lagi terkelola secara alami—semuanya meluncur deras ke sungai dan permukiman.
Dalam lima tahun terakhir, angka penggundulan hutan di Indonesia meningkat tajam. Tiga daerah yang sangat terdampak adalah Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat—yang semuanya baru saja dilanda bencana besar berupa banjir dan longsor.
Data resmi pemerintah menunjukkan bahwa dalam satu tahun terakhir saja, luas hutan yang hilang di Indonesia telah mencapai lebih dari seratus ribu hektare. Angka itu bahkan lebih tinggi dibanding periode-periode sebelumnya. Khusus Aceh, peningkatan deforestasi mencapai kelipatan berkali-kali dari kondisi tahun-tahun yang dianggap masih aman.
Jika hutan terus menyusut, bencana seperti yang terjadi di Karang Baru bukan hanya terulang, tetapi berpotensi semakin parah. Sungai yang dulunya jinak bisa berubah menjadi aliran yang ganas hanya dalam hitungan jam ketika hujan lebat datang.
Banjir yang Menjadi Cermin Kerusakan Ekosistem
Fenomena kayu yang menumpuk bukan hanya sisa banjir, melainkan bukti bahwa ekosistem di hulu tidak lagi bekerja sebagaimana mestinya. Hutan yang hilang menyebabkan siklus air terganggu, tanah kehilangan daya lekatnya, dan limpasan air bertambah cepat.
Akibatnya, daerah yang sebenarnya tidak berada di jalur bencana bisa ikut terkena dampaknya. Masjid, pesantren, sekolah, hingga rumah warga yang jauh dari gunung pun bisa tiba-tiba dikepung banjir dan material kayu.
Masyarakat yang menjadi korban tentu saja mempertanyakan apa yang telah terjadi di atas sana. Air bah datang bersamaan dengan potongan-potongan kayu besar, seolah hutan yang dulu meneduhkan kini datang membawa pesan balasan.
Pemerintah Ikut Bertindak
Bencana besar yang terjadi berulang kali akhirnya memicu respons tegas dari pemerintah pusat. Operasional sejumlah perusahaan yang berada di area hulu Daerah Aliran Sungai kini dihentikan sementara untuk menjalani audit lingkungan. Tindakan ini dilakukan untuk menilai apakah aktivitas mereka menjadi penyebab meningkatnya kerusakan hutan dan memperparah risiko bencana.
Langkah ini diharapkan menjadi titik balik agar pengelolaan lingkungan kembali berada di jalur yang benar. Audit menyeluruh bukan hanya soal sanksi, tetapi soal menyelamatkan jutaan warga yang tinggal di wilayah rawan banjir dan longsor.
Mengupayakan Solusi Jangka Panjang
Banjir bandang di Aceh Tamiang mengingatkan kita bahwa alam tidak tinggal diam ketika keseimbangannya dirusak. Penahan air alami telah hilang, dan kini manusia merasakan dampaknya secara langsung. Jika tidak ada perubahan signifikan, pemandangan ribuan kayu terbawa banjir akan terus terulang—bahkan dalam skala lebih besar.
Pemerintah, perusahaan, serta masyarakat harus bekerja sama untuk:
- Mengendalikan penebangan hutan
- Menata kembali daerah aliran sungai
- Mendorong reboisasi dan penghijauan yang nyata
- Memastikan kegiatan ekonomi tidak merusak ekosistem
Bencana ini memberikan pelajaran bahwa pembangunan ekonomi tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan keselamatan warga dan keberlanjutan alam.
Penutup
Ribuan potongan kayu yang mengepung masjid dan pesantren di Aceh setelah banjir bukan hanya puing bencana—itu adalah peringatan keras. Hutan yang hilang tak lagi mampu menahan air dan tanah, dan kita menyaksikan akibatnya di depan mata.
Jika alam telah berbicara, tugas manusia adalah mendengarkan. Dan jika Aceh sudah memperlihatkan dampak terburuk dari deforestasi, maka saatnya semua pihak berhenti menunggu bencana berikutnya dan mulai memperbaiki hubungan dengan alam sejak sekarang.

Cek Juga Artikel Dari Platform pontianaknews.web.id
